Tidak terasa sudah hari ketiga di Bandung, dan
kisah sebelumnya, Jejak Cantik sedang dalam perjalanan ke Bosscha. Perjalanan
lumayan lama, dan pada akhirnya, Jejak Cantik berhasil meninggalkan jejak di
Bosscha seorang diri. Ada apa di Bosscha? Yang penasran, apa sih Observatorium
Bosscha merupakan tempat untuk melihat bintang, galaxy, diresmikan 1 Januari
1923 bersama dengan K.A.R dan Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging
pertama di Asia Tenggara.
Keberuntungan di Bosscha
Jujur, Jejak Cantik selalu mencari informasi
sebelum berpergian, apalagi di tahun 2014 dimana informasi tidak selengkap
sekarang. Meskipun mengetahui informasi kalau hari Senin Bosscha TUTUP.
Dikarenakan info tersebut, maka Jejak Cantik pergi ke Bosscha di hari selasa.
Eh, informasi di internet rupanya tidak lengkap teman-teman. Apa yang terjadi? Bosscha hanya buka untuk umum setiap hari SABTU saja, tidak setiap hari
SELASA-SABTU. Padahal untuk menempuh ke Bosscha aku harus berjalan mendaki satu
kilometer.
Namun,
tidak perlu takut, bagi yang tidak suka berjalan kaki, di simpang Bosscha
tersebut ada pangkalan ojek. Jadi, tinggal naik ojek saja dan bayarnya bisa
diperkirakan 10.000 mungkin. Mendaki untuk melihat Bosscha tidaklah sulit, aku
membutuhkan waktu kurang lebih 15-20 menit. Karena aku berjalan sangat “santai
banget” (Ya, kalau capai berhenti, terus lanjut jalan dah, yang jelas semuanya
itu di nikmati). Padahal aslinya, Jejak Cantik ini tipe orang yang sukanya
serba praktis, semua harus pakai kendaraan, ogah jalan, dan ogah capek. Tetapi
apa hendak dikata, sesekali merasakan sebagai “turis.” Nah, turis tuh kan
sukanya menikmati semuanya santai, apalagi turis yang ala backpacker duit
sedikit pun menjadi pertimbangan untuk bisa digunakan ke hal yang lain.
Pemandangan
yang dilihat selama menuju “Observatorium Bosscha” terbayarkan sudah. Kelelahan
itu lenyap, karena semakin tinggi mendaki, semakin mendapatkan akses
pemandangan yang luar biasa. Pengen selfie, tetapi keringatan, jadinya ya cukup
“membingkai” keindahan tersebut dalam mataku saja. Sedikit bingung saat mau ke
Bosscha karena ada dua tikungan, mungkin bisa dikatakan tiga, tetapi tidak
berdekatan. Tidak usah kuatir, persimpangan “pos” ambil jalan ke kanan. Jalan beberapa
meter, ada tulisan gerbang pintu Bosscha.
Ih, sumpah kesal, lantaran ternyata Bosscha
tidak dibuka untuk UMUM di hari SELASA. Padahal memang sudah dirancang untuk
berkunjung, dan berbekal informasi harga tiket masuk sebesar Rp15.000 per
orang. Tetapi pak sekuriti berbaik hati, dia mengijinkan aku menggunakan
toilet, karena sungguh-sungguh-sungguh tak tertahankan untuk menyalurkan
sesuatu banget gitu. Setelah itu, dilanjutkan dengan berfoto di luar gedung
Bosscha. Eh, saat kaki hendak meninggalkan Bosscha untuk melanjutkan perjalanan
ke Tangkuban Perahu. Lagi-lagi, aku mendapatkan keberuntungan.
Ada rombongan anak TK, jadi aku bisa masuk ke
Bosscha dengan tetap membayar tiket ke pak sekuriti terlebih dahulu. Tetapi aku
bilang nanti saja bayarnya pada saat mau pulang. O.K, sekuriti yang berdiri di
depan gedung Bosscha pun mengijinkan masuk. Alhasil, masuk deh ke dalam bersama
rombongan TK.
Tidak seperti yang aku bayangkan bisa
meneropong bintang hahaha, ih seperti anak kecil or terkena sindrom “salah
informasi” mengenai bosscha. Karena banyaknya personal blog yang menceritakan
pengalaman “mereka” ke Bosscha plus sindrom dari film anak-anak. Eh, kebetulan
ada seorang anak TK yang bilang juga mengenai film itu, film pertulangan
sherina. Wah anak-anak zaman sekarang
luar biasa.
Asyik juga masuk dengan rombongan anak-anak,
salah satu pekerja di Bosscha pun memandu dan memberikan informasi mengenai
teropong. Serta celotehan anak-anak yang bertanya dengan semangat dan bahkan
ada yang mengangguk-angguk seakan-akan mengerti apa yang dikatakan kakak
pemandu Bosscha. Seru, satu hal keberuntungan yang aku dapat di Bosscha melihat
teropong bintang, meski tidak bisa menyentuh apalagi menggapainya. Sayang, aku
tidak bisa ikut tur tersebut sampai tuntas. Karena pertanyaan anak-anak itu
sangat banyaaaakkkk jadi ya sudah aku putuskan sudah puas melihat sekeliling gedung
dalam Bosscha. Oh ya, saat hendak keluar ada dua ibu guru lagi “eksis” mumpung
di Bosscha kata mereka. Jepret-jepret dulu mengabaikan moment dua ibu guru “yang
kabur” sejenak untuk mengabadikan moment special mereka.
Tidak heran, jika memang ada beberapa aturan
yang tertulis di dalam kertas selembar bahwa Boccha bukan tempat untuk picnic
atau tempat pembagian rapot. Pasalnya, pemandangan dan “hutan” buatan di
sekeliling itu memang menggoda untuk melakukan picnic kecil-kecilan. Karena
adem dan indah tentunya.
--
Advice
Pastikan saat mau
naik angkot jangan bilang mau ke Tangkuban Perahu melainkan gerbang Tangkuban
Perahu. Karena perkataan “Tangkuban Perahu” bisa memiliki makna yang berbeda.
Serta jadi miscommunication antara penumpang dengan pak supir…..
--
Keberuntungan yang menjadi Kesialan
Pertualanganku pun aku lanjutkan, ups
maksudnya perjalananku hehehe jadi terikut sindrom pertulangan Sherina deh. Turun
dari gedung Bosscha ke jalan besar tidak lah sesulit pada saat menuju ke gedung
Bosscha. Karena kali ini posisinya turunan. Jadi, asyik neh. Seakan-akan hendak
berlari, karena tidak sabar untuk melanjutkan perjalanan yang kedua di hari
yang sama. Pada saat turun, aku melihat mobil Lembang lewat, wah sial, setengah
berlari juga tidak terkejar dah. Ya sudah lah terpaksa menunggu, tetapi tidak
berlangsung lama.
Benarkan apa yang aku katakana mobil ST Hall –
Lembang itu sangat banyak, jadi tidak perlu kuatir untuk tidak mendapatkan
angkutan. Nanya-nanya informasi dengan ibu-ibu penumpang kalau hendak ke Tangkuban
Perahu naik apa? Terus sang ibu mengusulkan untuk naik mobil cikole, angkutan
yang mangkal di dekat perempatan pasar Lembang. Sungguh kesialan bagiku
mendapatkan angkutan dengan supir yang terlihat preman.
Dari awal, aku memang tidak mau naik angkot
ini, apalagi ada “dua” orang lain yang menyeramkan juga. Terkesan preman
banget, tetapi apa daya, kena “paksa” juga. Padahal niat ku mau naik angkot
yang berada di depannya. Tidak lama kemudian seorang pria pun naik dan
menanyakan tujuannya. Jadilah kami berdua di dalam, padahal dari awal aku sudah
bilang tarif normal untuk membawa ku ke gerbang bawah Tangkuban Perahu.
Waktu si mas itu turun di Wisata Cikolek, sang
kernek meminta bayaran 40.000, damn it is so expensive, it should around 10.000
IDR. Jadi, aku pun turun dan memberikan duit 40.000 saja. Sudah nggak benar neh
supir pikir ku. Memang sudah dari awal, aku sudah mendapatkan firasat yang
tidak baik. Eh si kernek pun memaksa aku untuk turut mereka ke takuban perahu.
Terjadi perdebatan sengit, untung si mas-mas itu masih disitu dan akhirnya,
mereka meninggalkan aku di simpang wisata cikolek. Padahal dari awal aku
seharusnya naik angkutan ke Subang, tetapi aku lupa hahaha. Namanya juga
terlalu senang. Sehingga lupa hal-hal yang penting.
Menunggu sesuatu yang tidak pasti (baca
angkot) di tengah lokasi entah berantah memang menebarkan, karena membawa aroma
sensasi yang sungguh berbeda. Rasa takut dan penasaran, namanya juga wanita
tentunya takut bila sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Apalagi tipe seperti
ku yang manis hahaha. Ih di larang sirik! Takut diculik alien, takut tiba-tiba
boom. Eh ada angkot lewat diberhentikan bilang mau ke Tangkuban Perahu, eh si
supir ketawa, dia bilang tidak ada angkot mau ke situ. Apa aku salah ngomong
ya? Akhirnya si supir pun berlalu dan meninggalkan diriku semakin bingung
dengan perasaan hampa. Ini aku di Negara eh kota orang tanpa tujuan yang pasti.
Tak lama kemudian berselang sepuluh menit
angkot lain lewat, kali ini warnanya tidaklah coklat melainkan putih. Nanya ke
penumpang perempuan yang kebetulan duduk dekat dengan pintu masuk, apa ini
lewat Takuban Perahu? Si mbak itu bilang iya, tapi Cuma di luarnya saja, alias
maksudnya gerbangnya doank. Lha memang dari awal, aku mau-nya Cuma sampai
gerbangnya saja. Ih, apez. Jaraknya Cuma lima menit jalan kaki, karena dekat
banget. Maklum karena gak tau jadi nyesel deh napa punya pemikiran yang
aneh-aneh di persimpangan wisata cikolek, kalau kaki ini bisa digunakan
melangkah sedikit saja. Sudah terlihat gerbang Tangkuban Perahu. Pasal sindrom
takut ketemu “preman” angkot hahahaha.
Turun dari elf dan memberikan uang 4000,
padahal 2000 saja cukup. Tetapi tidak apa-apa lah, karena hati lagi riang dan
gembira. Begitu turun dari angkot, lagi-lagi disambut sama “ojek”. Aku sudah
nolak baik-baik, tetap saja tuh kukuh. Ya sudahlah, mempertimbangkan jalan kaki
4 kilometer ke kawah ratu, akhirnya 50ribu untuk PP plus itu mas-mas tukang
ojek nya bakal menemani keliling, dan mengambilkan foto, jika kitanya mau.
Lantaran sudah kesal kena tipu angkot cikole, akhirnya aku mengiyakan saja
tariff yang ditawarkan tanpa negosiasi terlebih dahulu. Udah capai berdebat
kali ya, motor pun melaju melewati gerbang pintu pembayaran tiket. Sebenarnya
rada sebel, karena aku tidak membayar tiket masuk secara langsung. Oh ya 50
ribu itu di luar tiket masuk kawasan, harga masuk KWA Tangkuban Perahu itu
untuk wisatawan local dipatok Rp17.000 per orang. (Pada tahun 2014 ya, mungkin
sekarang sudah grow up).
Ya sudah lah, tidak apa-apa, jalanan yang
berliku, pasti donk… Mana ada jalan mau ke gunung lurus. Bisa gak ya
membayangkan perjalanan ke gunung lurus hehehehe bakalan bagaimana bentuknya
ya? Ah mungkin seperti gambar semasa SD ku dulu, dua gunung bertaut dan
ditengahnya ada jalan lurus, terus disamping kirinya lautan dan samping kanan
perumahaan hahahaha. Maklum, sewaktu kecil hingga sekarang, aku bukan lah ahli
menggambar, nilai gambar ku selalu mendapat nilai “terbagus” di kelas karena
gambar yang biasa aja :p
Saat itu, aku melewati sepasang atau couple
turis asing yang berjalanan kaki menuju ke Tangkuban Perahu or Kawah Ratu.
Sebenarnya jalan 4 kilo meter hingga 5 kilometer bukan lah hal yang jauh. Kalau
melihat kondisi jalannya yang menyenangkan dan menyengarkan mata. Rimbun-an
pohon dan tentunya, that is so wonderful. Walaupun cuaca tidak terlalu
bersahabat, aku tidak merasakan rasa dingin menyengat kulitku pada saat motor
melaju ke Kawah Ratu.
Tidak lama kemudian ada tulisan Kawah Ratu,
wah sudah sampai di situ juga sudah ramai orang yang melihat Tangkuban Perahu,
tidak hanya wisatawan local saja, tetapi banyak wisatawan asing. Tangkuban
Perahu rupanya memiliki “magnet” tersendiri di mata mereka.
Terbukti, wisman dari Jepang, meskipun sudah
tua, mereka tidak peduli, mereka naik dan turun tangga menikmati pesona gunung
Tangkuban Perahu. Begitu pun denganku, rasanya betah berlama-lama di situ dan
memandang pemandangan dengan takjub. Luar biasa ya, maklum selama ini tidak
pernah berlibur ke tempat-tempat “dongeng,” lebih kebanyakan kalau berlibur ke
tempat shopping center. Jadilah ini pengalaman yang berkesan banget. Rasanya
mataku lapar akan sekeliling, tidak peduli banyak orang yang eksis mengabadikan
moment mereka dengan background Tangkuban Perahu, aku hanya berdiri dan menatap
setiap angle yang ada di sudut depan mataku.
Kawah yang luar biasa lebar dan mengeluarkan
uap belerang. Banyak orang yang mengatakan baunya sangat menyengat, dan lebih
menyengat dibandingkan Kawah Putih. Bagiku tidak terlalu or karena hidung lagi
sedikit bermasalah kali ya. Tetapi sepanjang mata memandang, tidak ada yang
menggunakan masker. Puas berjalan-jalan ke Tangkuban Perahu or kawasan Ratu,
sayangnya aku tidak sempat melihat ke Kawah Domas. Karena memang tidak ada
niatan untuk mencoba menikmati air panas balerang dari situ. Karena dari awal
setelah ke Tangkuban Perahu langsung ke Ciater, tempat pemandian air panas.
Setelah puas berjalan-jalan keliling dan
melihat semuanya dijelajahin. Akhirnya, menyempatkan diri dengan menikmati
aroma jagung bakar yang menggoda selera, sejak dari awal datang ke Tangkuban
Perahu. Tidak perlu kuatir harganya tidak mahal, hanya 10K per jagung bakar dan
segelas bandrek seharga 7K murah meriah untuk menikmati itu sambil memandang
pemandangan yang menakjubkan.
Tidak terasa sudah satu jam lebih berada di
Tangkuban Perahu, dan merekam beberapa bagian dan mengambil foto selfie dan
juga di foto oleh mas-mas tukang ojek tersebut. Mas itu juga menawarkan harga
100K untuk keliling beberapa wisata seperti pemandian air panas ciater, air
terjun maribaya, tetapi tawaran itu aku tolak. Lantaran memang niatnya mau “backpacker.”
Alhasil tawaran itu aku tolak, meskipun mas-masnya tadi memaksa. Habis, tidak
enak jalan “diikuti” kemana kita pergi. Rasanya kurang sreng. Apalagi tipe aku
yang suka menyendiri bila memandang keindahan alam.
Paling serukan menikmatinya seorang diri
dengan melihat sekeliling sambil memandang pemandangan yang tidak pernah bisa
dilepaskan oleh mata sedetik pun juga. Ajaib, setiap tempat wisata alam memang
memiliki magnet yang berbeda, melepas penat yang seharian bekerja di kantor
yang hanya memandang layar putih sepanjang jam kerja. Perjalanan pun
dilanjutkan, mas tukang ojek itu pun menurunkan ku di bawah gerbang masuk Pintu
Tangkuban Perahu. Disini aku melihat perkebunan teh, sungguh elok memang mata memandang,
mendadak menjadi penyair amatiran di dalam hati mengenai Go Green
Hijau bumiku, Hijau Daerahku
Tak kan bosan memandang hamparan hijau
Pemandangan yang menakjubkan mata
Terbingkai indah di dalam batin
Menghilangkan galau gulanda kehidupan
Hijau yang menyejukan hati dan jiwa
Teruslah bertambah hijau agar duniaku indah
Teruslah tertata rapi agar anak cucuku
merasakan
Kesejukan dan keindahan alam Indonesia
Banyak
organisasi yang menyuarakan Go Green dan itu bukan tanpa alasan. Karena hal itu
sangat penting untuk menjaga keasrian lingkungan hidup kita. Waduh mendadak
jadi bijak setelah turun dari Kawah Ratu. Serukan, semua perjalanan seorang
diri menjadikan aku lebih bersikap bijak, dan menghargai alam. Bukan untuk
sekedar seru-seruan mengabadikan moment. Melainkan untuk bersatu dengan alam,
untuk memandang diluar “zona” pemikiran kita yang selalu ribet dengan persoalan
ekonomi yang tak akan pernah berhenti.
Sungguh ada
penyesalan naik ojek, karena kemana kita pergi di “intilin” eh maksudnya
diikuti. Takut kita lari kagak bayar kali ya hahaha. Lain kali kalau mau ke
Tangkuban Perahu aku memilih alternative sendiri saja, tidak menggunakan ojek.
Walaupun ada untungnya juga karena Pulang Pergi tidak perlu berjalan kaki dan
menghemat waktu berjalan. Kalau aku perhitungkan satu kilometer saja untuk
jalan menanjak aku membutuhkan waktu 15-20 menit. Nah, di Tangkuban Perahu ada
sekitar 4-5 Kilometer jadi bisa dibayangkan butuh waktu berapa lama untuk aku
tiba di sana?
Sedangkan
untuk menggunakan angkutan di dalam Tangkuban Perahu, pasti juga menunggu
sampai penumpang penuh. Jadinya, ya itu alternative yang luar biasa baik.
Tetapi lain kali, aku minta mas tukang ojeknya nunggunya di parkiran saja atau
bilangnya satu or dua jam lagi ketemu or minta no ponselnya, kalau sudah puas
kita hubungi untuk bertemu di parkiran. Nyesel dikemudian hari seperti diriku
Cuma bisa gigit jari sampai sakit juga percuma saja.
Untuk makanan dan toilet di Tangkuban Perahu sangat banyak, bagi yang suka naik kuda juga ada tuh sarana tunggang kuda sambil menikmati pemandangan gunung. Recommended banget liburan di alam bagi yang sudah mengalami kebuntuan pikiran dengan pekerjaan. Ada baiknya melakukan pertualangan singkat backpacker, tidak butuh duit banyak dan tidak perlu takut. Karena Indonesia ku aman dan nyaman. Yuk….. Cintai Indonesia, dengan melakukan pelesiran di Indonesia tidak hanya ke luar negeri saja. Masih banyak wisata alam yang “belum terjamah” masa kita kalah sama bule yang rela datang jauh-jauh untuk “mencuri” pemandangan indah Indonesia yang tiada taranya.
Fill your day with love and step beauty feet
Fun Time it's you......
Jadilah orang pertama yang berkomentar!
You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Smile and Lovely Day