Jakarta Lebih Kejam dari Ibu Tiri
Masih
teringat jelas gambaran kehidupanku ketika aku pertama kali menjejakan kaki cantik di Jakarta. Untuk bekerja di ibukota Indonesia. Kenapa memilih Jakarta? Karena Jakarta adalah tempat
yang luas, tempat yang memberikan banyak peluang bagi yang bersungguh-sungguh berniat
mengais-ngais rejeki di kota metropolitan. Jakarta terkenal sebagai kota yang
super sibuk, tidak ada perbedaan antara pagi, sore dan malam. Kendaraan tidak
pernah sepi melewati setiap jalur yang ada. Kemacetan adalah bagian dari
kehidupan di Kota Jakarta yang pongah.
Aku
hanyalah bagian dari butiran debu di Jakarta, tidak ada yang spesial dengan
diriku. Aku ke Jakarta bukan sedang mencari jati diri tetapi mencari pekerjaan.
Mencoba mengubah kehidupan dari zona nyaman menjadi zona “perang”. Perang batin
apakah tetap bertahan di kota yang penuh dengan polusi kendaraan, polusi moral.
Kenapa bisa aku berkata eh berpikiran seperti itu. Itu bukanlah tanpa
alasan, sebab memang benar adanya. Coba saja, naik angkutan kota (angkot). Tiap
10 menit selalu saja bergantian datang pengemis dari perorangan maupun
rombongan. Gaya bicara mereka bermacam-macam, mulai dari bernyanyi,
berpura-pura tidak bisa berbicara dan juga ada dengan nada mengancam.
source: en.wikipedia |
Sehingga
aku memutuskan naik angkot. Benar saja di persimpangan lampu merah. Angkot yang
aku tumpangi berhenti, tentunya. Lalu, naiklah seorang pengamen. Dari gayanya
sudah setengah mabuk. Ditambah aroma yang tidak menyenangkan. Di dalam angkot
hanya ada aku seorang sebagai penumpangnya. Seperti biasa, ia meminta uang. Aku
menolak tidak memberikannya, karena memang benar adanya, aku tidak memiliki
uang lebih. Soalnya, aku baru mendapatkan pekerjaan.
“Minta
uangnya mbak, untuk makan,” ujar pria setengah mabuk itu.
“Sama mas,
saya juga belum makan,” jawabku, “Aku aja masih mencari kerja disini.”
“Masa tidak
ada uang,” katanya setengah memaksa.
“Memang
tidak ada uang. La, saya juga masih pengangguran,” ucapku setengah berbohong.
Soalnya kan baru dapat kerja, jadi belum dapat bayaran. Itu aja masih hari
pertama kerja heheh.
Uang pun
hanya cukup untuk membayar angkutan. Ia marah dan menghembuskan nafasnya yang
beraroma alkohol. Berkata-kata yang tidak sopan. Untunglah, tiba-tiba di
belakang angkot kami berhenti angkot yang banyak penumpangnya. Dia pun segera
pergi sambil mengomel dan mendatangin angkot di belakang kami. Pak angkot
melihat kepadaku, antara ngeri dan bersyukur. Untung tidak terjadi apa-apa
padaku. “Ini Jakarta, kalau mbak nggak kasih mereka. Mereka suka bertindak
tidak sopan.” Begitulah kata pak angkot.
Aku hanya
tersenyum saja, tetapi sumpah sebenarnya aku sangat takut. Tetapi apa daya, aku
memang sedang tidak memiliki uang lebih. Aku harus pandai-pandai mengatur
keuangan sebelum mendapatkan bayaran. Hasil kerja kerasku. Hidup di Jakarta itu
sangat keras. Beragam kisah akan memenuhi buku harian setiap orang antara suka
dan duka, kekejaman dan kebahagiaan. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia
hidup di dalam kekejaman ibukota. Mama selalu berujar, “Jakarta lebih kejam
dari ibu tiri.”
Awalnya aku
hanya menertawakan perkataan sang mama. Pasalnya, aku selalu tidak pernah
mempercayai sesuatu sampai aku melihatnya sendiri. Karena bagiku, kehidupanku
saja sudah kejam. Jadi ditambah kekejaman “ibu tiri” tidak ada salahnya.
Biarlah, semua berjalan sebagaimana takdir kehidupan akan membawaku. Asalkan
satu, aku tetap di jalur yang benar, tidak pernah menyerah. Apapun percobaan
yang datang dan pergi silih berganti. Terkadang meninggalkan ruang kosong dan
hampa, bahkan kepedihan dan kegembiraan. Namun yang pasti, nikmatin saja hidup
sebagaimana adanya. Karena kepedihanku bukanlah kepedihan mereka, begitu juga
sebaliknya.
Fill your day with love
#jelajahwaktu
Pada
Agustus 30, 2017
Jadilah orang pertama yang berkomentar!
You've decided to leave a comment – that's great! Please keep in mind that comments are moderated and please do not use a spammy keyword. Thanks for stopping by! and God bless us! Keep Smile and Lovely Day